Buku Kenangan


Bismillah, akhirnya punya kesempatan nengok blog lagi  πŸ˜€
Sebenarnya karena beberapa waktu lalu secara tidak sengaja saya menemukan sekantong besar dokumen-dokumen lama yang sempat tercecer karena pindah rumah, yang salah satu isinya adalah Majalah Bobo lama yang pernah memuat salah satu cerpen saya. Jadi sekarang ada alasan lagi untuk mendokumentasikan karya lama di sini.

Cerita ini diterbitkan di Majalah Bobo No. 44, Tahun XXXIX, 9 Februari 2012.  Sudah lama sekali ya πŸ˜„ waktu itu saya sudah dikabari oleh Veronica Widyastuti, staf redaksi Bobo, bahwa ada sedikit kekhilafan dalam pemuatannya. Nama saya sebagai penulis tidak tercantum. Ya... agak kecewa juga. Tapi tidak apalah, namanya juga ketidaksengajaan. Selamat membaca!


BUKU KENANGAN
Oleh Maharani Aulia

Dian kebingungan mencari buku itu. Sudah selesai dibacanya dan tinggal membaca ulang kisah beberapa tokoh saja.
“Memangnya kamu taruh di mana sih, Dian?” tanya Kak Kiki sambil membantu mencari.

“Seingatku di meja belajar,” jawab Dian tak yakin.
“Kalau ingatanmu salah gimana?”
“Aduh… kalau hilang gimana, Kak?”
“Belikan gantinya. Pakai uangmu sendiri.”
Seharian itu seluruh ruangan diperiksa, tapi buku berjudul Seratus Tokoh itu tidak juga ditemukan. Ia nyaris putus asa.
Dian meminjam buku itu seminggu yang lalu ketika berkunjung ke rumah Bu Rini. Kata ibu wali kelasnya itu, buku Seratus Tokoh bercerita tentang orang-orang yang pemikiran dan tindakannya mampu mengubah dunia. Bu Rini memberinya waktu dua minggu dan meminta Dian menjaga buku itu. Berarti masih ada waktu seminggu untuk mencarinya. Tapi di mana?



Hari berikutnya Dian tidak dapat berfokus pada pelajaran. Ia sudah menyiapkan uang tabungannya selama beberapa bulan terakhir. Antara ragu dan yakin Dian menuruti saran kakaknya. Ia sadar barang milik orang lain yang dihilangkan harus digantinya. Tapi kalau buku itu nanti ketemu setelah ia membeli gantinya, rasanya sayang juga karena telanjur mengeluarkan uang.
Untunglah Bu Rini tidak banyak memberi soal latihan. Bisa-bisa ia salah menjawab karena terus melamun.
“Dian, enam hari lagi bukunya dikembalikan, ya?” tegur Bu Rini sebelum menutup pelajaran.
Dian tersentak. “I-iya, Bu.”
Suasana bubaran sekolah selalu riuh dengan anak-anak, beberapa penjemput bermobil dan bersepeda motor untuk yang rumahnya jauh, petugas pengatur lalu-lintas, dan pedagang makanan dan minuman di luar gedung sekolah. Dian tidak memedulikan itu semua. Yang ada di pikirannya hanyalah ia segera menyiapkan buku pengganti untuk Bu Rini. Ia sudah memutuskan untuk mengganti. Kak Kiki menawarkan akan menemaninya ke toko buku sore ini.
Di toko buku, setengah berlari Dian menuju ke komputer untuk mencari data buku. Diketiknya judul buku di kotak pencarian dan ditekannya tombol enter. Tapi yang muncul di layar adalah, “Stok habis.” Dan yang agak mengejutkannya, muncul gambar cover yang samasekali berbeda dengan buku yang dipinjamnya. Ada gambar George Washington dan beberapa tokoh lain. Sementara buku Bu Rini, hanya judul dengan tulisan cetak di sampulnya. Dian memeriksa lagi lebih cermat. Penerbitnya juga lain.
Dian pun meminta penjelasan pada petugas yang sedang menata tumpukan buku. “Oh, stok memang habis. Nanti sekitar seminggu atau dua minggu lagi akan datang,” jelas si petugas.



Dian bernapas lega. Ia akan berterus terang pada Bu Rini bahwa ia telah menghilangkan buku itu dan bersedia menggantinya. Esok harinya, pada jam istirahat kedua Dian menemui Bu Rini dan menceritakan semuanya.
“Saya bersedia mengganti, Bu,” katanya.
“Dengan buku yang sama?” tanya Bu Rini.
“Mm… ten-tentu, Bu,” sahut Dian terbata. “Saya sudah memesan di toko. Tapi seminggu atau dua minggu lagi baru datang bukunya.”
“Apakah persis seperti buku milik Ibu?” tanya Bu Rini lagi.
Dian menggeleng dan menatap wajah Bu Rini takut-takut. “Terbitan terbaru, Bu. Gambar sampulnya berbeda. Penerbitnya lain.”
Bu Rini menatap Dian. Dian menunduk segan dan terdiam.
“Buku baru itu harganya mungkin lebih mahal dan dalam kondisi bagus karena baru. Tapi mengertikah kamu, bahwa bagi Ibu buku yang hilang itu lebih tinggi nilainya?”
“Maksud Ibu?” tanya Dian bingung.
“Buku itu sangat berharga bagi Ibu, karena merupakan hadiah dari almarhum Kakek Bu Rini…” jelas Bu Rini.
“Oh…” desah Dian. Ia tidak berpikir sampai sejauh itu. “Maafkan saya, Bu,” ucapnya lirih.
Bu Rini tidak langsung menjawab. Untuk beberapa saat suasana hening. Kepala Dian makin tertunduk. Ia teringat kejadian beberapa waktu lalu, ketika Nina menghilangkan novel favoritnya. Meski buku itu dibelinya sendiri, bukan barang kenangan pemberian siapapun, ia tetap merasa jengkel pada Nina. Meskipun kemudian sahabatnya itu menggantinya dengan buku baru berjudul sama. Kini ia melakukan kesalahan yang sama kepada ibu gurunya. Ia sadar kecerobohan telah membuat jengkel Bu Rini.
“Ibu maafkan,” sahut Bu Rini kemudian.
“Sekali lagi saya minta maaf, Bu,” ulang Dian sambil memberanikan diri menatap wajah Bu Rini. “Saya berharap Bu Rini mau menerima buku penggantinya nanti...”
Bu Rini menggeleng, tidak tersenyum. “Tidak perlu...” kata Bu Rini, membuat Dian makin takut.
Dian ternganga. Ia berpikir, jika Bu Rini tidak mau menerima buku pengganti darinya, ia akan semakin merasa bersalah.
Bu Rini berkata, “Sudah ketemu, kok,” sambil menunjukkan buku Seratus Tokoh yang hilang itu. Kali ini beliau tersenyum.
“Di-di… mana, Bu?” Dian belum bisa menghilangkan rasa kagetnya.
“Bapak penjaga menemukannya di kolong mejamu dua hari yang lalu.”
Dian lega sekali mendengarnya.
“Tapi karena sudah memesan di toko buku, kamu tetap harus membelinya kan?”
Dian mengangguk. Hmm, andai dia tidak ceroboh, tentu ia tidak perlu mengeluarkan uang untuk membeli buku itu.
“Sayang ya, kamu terpaksa mengeluarkan uang untuk membeli gantinya,” kata Bu Rini, seolah tahu isi pikirannya.
Namun dengan cepat Dian menggeleng. “Tadinya saya berpikir begitu, Bu. Tapi sekarang, saya merasa harus memiliki sendiri buku sebagus itu. Pengetahuannya sangat penting. Dan buku itu akan mengingatkan saya untuk lebih berhati-hati meminjam barang milik orang lain,” ujarnya.
“Ide yang hebat,” puji Bu Rini.
Dian mengangguk mantap. “Terima kasih banyak, Bu.”
*

Comments

  1. Wuaahh ... tahun 2012 mb.. itu kelahiran anak aku yg pertama mb 🀭

    ReplyDelete
    Replies
    1. Berarti ananda sekarang 9 tahun ya Din πŸ₯°

      Delete

Post a Comment

Thank you for visiting 🌻 I'd love to hear your thoughts here